Daán yahya/Republika

Sejarah Negeri Qatar

Bukan hanya sebagai negeri Teluk yang makmur, Qatar pun kerap menjadi mediator konflik-konflik mancanegara.

Oleh: Hasanul Rizqa

Dalam beberapa waktu belakangan, eskalasi ketegangan antara Israel dan Palestina sempat mereda usai kedua belah pihak menyepakati gencatan senjata. Kemudian pada Jumat (1/12/2023), wacana perpanjangan “jeda kemanusiaan” tidak mencapai titik temu. Israel yang seolah-olah memperoleh lampu hijau langsung melanjutkan genosida atas warga Palestina, khususnya yang bermukim di Jalur Gaza.

 

Adanya kesepakatan gencatan senjata tujuh hari itu (24-30/11/2023) tidak terlepas dari kontribusi segelintir negara dunia Arab, terutama Qatar. Malahan, negara yang beribu kota di Doha itu dapat dikatakan berperan lebih signifikan dalam memediasi antara Harakatu al-Muqawwamah al-Islamiyah (Hamas) dan entitas zionis. Seperti dilansir dari The Guardian, Doha tidak hanya aktif menjadi mediator dalam konteks Palestina-Israel, tetapi juga konflik-konflik yang berkaitan dengan Iran, Afghanistan, Sudan, Lebanon, dan bahkan Ukraina.  Dalam kasus Afghanistan, umpamanya, Qatar menjadi tuan rumah pertemuan antara delegasi Taliban dan Amerika Serikat (AS) pada Februari 2020.

 

Menurut editor The Guardian Patrick Wintour, umumnya pengamat hubungan internasional menilai Qatar sebagai negara kecil, tetapi berperan besar dalam upaya mewujudkan stabilitas di Timur Tengah.  Secara geografis, negara tersebut mencakup Semenanjung Qatar yang luasnya “hanya” kira-kira dua kali Jakarta. Namun, di bawahnya terkandung kekayaan alam yang melimpah ruah dan pemerintah setempat mampu mengelolanya dengan baik.

 

Qatar berada di urutan ketiga, yakni setelah Iran dan Rusia, sebagai negara dengan cadangan gas alam terbukti (proven reserves) terbesar sedunia. Sekira 14 persen cadangan gas alam yang diketahui di muka bumi berada di negara Teluk Arab tersebut. Cadangan minyak buminya pun termasuk jajaran 15 besar dunia. Proven reserves-nya dalam hal ini setara kira-kira 402 kali konsumsi tahunan setempat. Artinya, jika tidak melakukan ekspor, Pemerintah Qatar sanggup mengamankan konsumsi energi untuk rakyatnya dalam jangka waktu 402 tahun.

 

Merujuk data World Atlas, Qatar pada 2023 menjadi negara dengan produk domesti bruto (GDP) per kapita terbesar keempat di dunia, yakni di bawah Singapura dan di atas Swiss. Akan lebih tepat untuk menyebut kemakmuran Qatar tidak disebabkan cadangan migas yang dimilikinya, tetapi keahliannya dalam mengelola kekayaan alam itu. Hal demikian pada akhirnya tidak hanya berdampak pada kemakmuran ekonomi setempat, melainkan juga besarnya pengaruh Doha dalam konteks hubungan internasional.

DOK wikipedia

Pada 2005, Pemerintah Qatar membentuk badan investasi khusus (sovereign wealth fund, SWF) yaitu Qatar Investment Authority (QIA). Hingga Oktober 2023, QIA diperkirakan memiliki aset yang dikelola senilai 475 miliar dolar AS. Salah satu cabang QIA yang agresif dalam melakukan investasi adalah Qatar Holding, yang tiap tahunnya diberi modal antara 30 miliar hingga 40 miliar dolar AS untuk mencari peluang investasi yang dapat menguntungkan Qatar di masa depan.

 

Sejak pertama kali dibentuk, Qatar Holding telah beberapa kali melakukan investasi di luar negeri. Hingga 2013, misalnya, beberapa perusahaan telah menjadi incarannya. Misalnya, Harrods yang diakuisisi Qatar Holding sejak 2010. Tiap tahunnya, toko yang menjadi langganan masyarakat kelas atas di London, Inggris, itu membukukan pendapatan sekira 100 juta dolar AS. Beberapa perusahaan lain yang sebagian besar sahamnya dipegang Qatar Holding ialah Canary Wharf Group Investment Holdings (perusahaan properti di London); Bandara Heathrow (London); Volkswagen (perusahaan otomotif asal Jerman); dan Barclays (bank di Inggris).

 

Wintour mengatakan, keaktifan negara sekaya raya Qatar dalam memediasi konflik di berbagai belahan dunia menjadikan kehadirannya diperlukan (indispensable) sehingga tidak mungkin dipandang sebelah mata, terutama oleh negara-negara adidaya. Pada saat yang sama, posisi itu pun menguntungkan Doha yang selalu dibayang-bayangi pengaruh negeri-negeri tetangga, khususnya Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UAE). Ketegangan diplomatik dan bahkan boikot yang sempat dilakukan Riyadh terhadap Doha pada 2017-2021 menjadi salah satu bukti bahwa Qatar punya alasan untuk selalu waspada.

 

Dalam konteks eskalasi Palestina-Israel, di manakah Qatar berpihak? Menurut Wintour, dalam berbagai keterangannya Pemerintah Qatar menyatakan tidak pernah mendorong Hamas untuk melancarkan serangan ke Israel pada 7 Oktober 2023 lalu. Bagaimanapun, Doha selalu menegaskan, pemicu konflik yang sesungguhnya adalah Israel selaku entitas yang melakukan penjajahan atau pendudukan atas wilayah Palestina. Dalam Konferensi Kerja Sama Islam (OIC) baru-baru ini, Qatar menyuarakan kecaman-kecaman yang keras terhadap Israel. Bahkan, dengan tegas dinyatakannya bahwa Israel sedang melakukan genosida di Gaza sehingga entitas zionis itu nyata-nyata melanggar Konensi Jenewa. Doha juga menyayangkan standar ganda yang ditunjukkan sebagian komunitas internasional dalam menyikapi situasi Palestina-Israel.

DOK AP/Jacquelyn Martin

Dalam lintasan sejarah

 

Ada beragam pendapat mengenai asal mula nama Qatar. Pertama-tama, secara kebahasaan al-qathr berarti ‘tetesan air’ atau ‘hujan.’ Maka, bagian semenanjung Arabia dengan curah hujan yang tinggi ini dinamakan Qatar. Dan merujuk pada data Weather Spark pada 2021, curah hujan Doha, Qatar, lebih tinggi dibandingkan kota-kota lainnya di sekujur Jazirah Arab, semisal Riyadh, Jeddah, dan Makkah.

 

Semenanjung Qatar sudah dihuni manusia sejak 50 ribu tahun silam. Para arkeolog telah menemukan bukti-bukti peradaban Zaman Batu di wilayah tersebut. Begitu pula dengan temuan artefak-artefak yang diperkirakan berasal dari peradaban Mesopotamia, khususnya periode Ubaid 6.500 sampai 3.800 tahun sebelum Masehi (SM). Pada abad pertama SM, masyarakat lokal diduga sudah mengenal budidaya kerang.

 

Pada abad ketiga Masehi, Imperium Sasaniyah dari Persia menguasai seluruh Semenanjung Qatar dan menjadikannya salah satu bandar terpenting di kawasan Teluk Arab. Kota-kota pelabuhan setempat menjadi titik transit kapal-kapal yang membawa berbagai komoditas penting, terutama mutiara dan pewarna ungu. Geliat perdagangan pada masa itu juga membawa masuk ajaran agama Kristen yang datang dari Syam melalui Irak ke Qatar.

 

Ketika Nabi Muhammad SAW lahir di Makkah, Qatar masih menjadi bagian dari Persia. Setelah lebih dari 20 tahun berjuang, Rasulullah SAW diterima seluruh penduduk Hijaz. Dari Madinah, beliau kemudian mengirimkan sejumlah duta ke wilayah timur Semenanjung Arabia, termasuk Qatar. Pemimpin Qatar saat itu, Munzir bin Sawa al-Tamimi, menerima para utusan Nabi SAW yang membawa pesan agar dirinya dan rakyat setempat menerima Islam. Munzir lalu menjadi Muslim. Begitu pula dengan mayoritas suku-suku Arab di Qatar. Barulah pada era Khulafaur rasyidin, Kekaisaran Sasaniyah tumbang sehingga Qatar secara de jure pun termasuk dalam wilayah pemerintahan (daulah) Islam.

 

Pada masa Kekhalifahan Umayyah, Qatar terkenal sebagai daerah penghasil kuda dan unta. Negeri ini juga semakin masyhur sebagai pusat budidaya kerang, termasuk yang memproduksi mutiara berkualitas tinggi.

 

Ketika terjadi perpecahan politik antara Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Ali bin Abi Thalib, Qatar dapat dikatakan tidak ikut menjadi episentrum kemelut. Namun, sesudah kematian sang  khalifah pertama Bani Umayyah dan naiknya Yazid bin Mu’awiyah, dari Qatar muncul seorang pemimpin Khawarij bernama Qatari bin al-Fuja’a. Khawarij adalah sebuah kelompok ekstremis yang memerangi baik kubu Umayyah maupun Ali sejak berakhirnya Perang Siffin pada 37 H/657 M. Selama 20 tahun, Qatari memimpin perlawanan terhadap Damaskus—ibu kota Kekhalifahan Umayyah.

 

Memasuki pertengahan abad kedelapan Masehi, gerakan revolusioner anti-Umayyah yang berpusat di Irak tidak lagi mampu dipadamkan Damaskus. Bahkan, Bani Umayyah akhirnya dapat dikalahkan oleh kaum revolusioner yang menamakan diri Bani Abbas itu. Pada 750 M, lahirlah kekhalifahan baru, yakni Abbasiyah.

 

Pada masa-masa awal Kekhalifahan Abbasiyah yang beribu kota di Baghdad, Qatar mulai dibangun lebih pesat daripada sebelumnya. Baghdad mengembangkan, antara lain, kota Murwab di Qatar utara. Lebih dari 100 rumah dibangun di sana. Begitu pula dengan dua masjid raya dan sebuah benteng pertahanan. Hingga kini, Benteng Murwab dapat dijumpai dan menjadi sebuah objek wisata sejarah.

 

Baghdad juga dengan serius mengambangkan industri mutiara di Qatar. Kapal-kapal dagang dari Basrah yang hendak menuju India dan Cina akan singgah terlebih dahulu di Qatar untuk komoditas tersebut. Bukti-bukti arkeologis menunjukkan, pelabuhan setempat pada abad kesembilan menjadi tempat perdagangan porselen Cina, koin-koin dari Afrika timur, dan bahkan pernak-pernik dari Siam (Thailand). Para arkeolog menduga, pada masa itu bisnis mutiara di sana sedang mengalami kejayaan.

Sebelum penemuan cadangan migas, Qatar adalah salah satu negeri Arab yang paling miskin.

Sekitar tahun 868 M, pemberontakan anti-Abbasiyah merebak di sebagian kawasan timur Semenanjung Arab, termasuk Qatar. Pemimpinnya, Muhammad bin Ali, menyeru penduduk Qatar dan Bahrain untuk ikut memberontak terhadap Baghdad. Masyrakat Arab lokal menanggapinya acuh tak acuh, tetapi tidak demikian halnya dengan para pendatang berkulit gelap (zanj), terutama yang berstatus budak.

 

Setiap kali Ali bin Muhammad melewati tempat di mana ada para budak zanj, mereka pun akan dihasut agar bergabung dengannya. Bahkan, para pendukung Ali sampai-sampai menangkap sipir mereka. Adapun beberapa orang Arab yang akhirnya bergabung cenderung didasari faktor ketidakpuasan terhadap Baghdad, alih-alih hendak menghapuskan perbudakan.

 

Khalifah Abbasiyah sempat kewalahan menghadapi pemberontakan kaum zanj ini. Namun, beberapa tahun kemudian Baghdad dapat kembali menguasai keadaan. Pada 883, Ali bin Muhammad terbunuh sehingga mengakhiri kup ini.

 

Selain Revolusi Zanj, Qatar juga pernah terimbas gerakan radikal Syiah Ismaili yang bernama Qaramitah. Para pendukungnya hendak mendirikan sebuah “negara dalam negara” yang menjadi tempat mereka bebas mempraktikkan keyakinan. Di antara dogma-dogma yang diyakininya ialah bahwa ibadah haji ke Kabah, Masjidi Haram, Makkah, hanyalah takhayul belaka. Pada 906 M, mereka menyerang karavan jamaah yang sedang dalam perjalanan ke Tanah Suci. Akibatnya, tidak kurang dari 20 ribu orang meninggal dunia.

 

Pada 1253 atau lima tahun menjelang penyerbuan bangsa Mongol terhadap Baghdad, Qatar dan sekitarnya dikuasai Bani Usfuri. Mulanya, kabilah yang mengambil nama dari sosok pendirinya, Usfur bin Raysid, itu bersekutu dengan Qaramitah, tetapi kemudian berhasil mengalahkannya.

 

Pada 1320, Qatar jatuh ke tangan Kerajaan Hormuz. Sejak saat itu, perdagangan mutiara yang menjadi aktivitas utama di bandar-bandar Qatar menyumbang sebagian besar pendapatan Hormuz. Pada 1507, armada Portugis yang dipimpin Afonso de Albuquerque dapat mengalahkan Hormuz. Sejak saat itu, Portugis mengendalikan arus perdagangan antara India dan Eropa via Teluk Arab selama 250 tahun.

 

Dalam masa dua setengah abad itu, Portugis membangun banyak benteng di pesisir timur Jazirah Arab, termasuk Qatar. Bagaimanapun, hampir tidak ada peninggalan siginifkan dari benteng-benteng Portugis di Qatar kini.

 

Pada 1622, Britania Raya mendukung kaisar Dinasti Safawi Persia, Shah Abbas, untuk mengusir Portugis dari kota-kota pelabuhan Teluk Arab, termasuk Qatar. Sebagai balasannya, Inggris diberi keleluasaan untuk mendirikan benteng-benteng di kawasan tersebut, khususnya pesisir Iran yang menghadap Teluk.

DOK wikipedia

Pada 1670, Bani Khalid mengonsolidasi kekuasaan di timur Jazirah Arab, termasuk Kuwait, Bahrain, dan Qatar. Kabilah yang mengeklaim sebagai keturunan sahabat Nabi, Khalid bin Walid, ini lalu menerima kedatangan Bani Utub di kota-kota Semenanjung Qatar, utamanya Zubarah. Salah satu cabang kabilah ini, al-Khalifa, lalu mendeklarasikan diri sebagai penguasa Bahrain dan Qatar pada 1783. Beberapa tahun kemudian, Bani Khalid kehilangan kendalinya atas kedua negeri tersebut.

 

Dinasti Safawi menyerang Zubarah. Bani Utub lalu menggalang kerja sama dengan suku-suku Arab sekitar dan akhirnya berhasil mengusir bangsa Persia itu dari sana pada 1783. Sementara berbagai suku pindah ke Zubarah saat itu, Bani al-Khalifa tetap berada di al-Manama, Bahrain. Hingga kini, Dinasti al-Khalifa merupakan penguasa negeri Bahrain.

 

Berbeda dengan Bahrain, hingga awal abad ke-19 M, Qatar mengalami ketidakstabilan politik. Berbagai syekh mengeklaim kekuasaan atas wilayah semenanjung tersebut. Bagaimanapun, Qatar—khususnya Zubarah—tetap menjadi sebuah bandar penting di kawasan Teluk Arab, terutama sebagai sentra penghasil mutiara.

 

Menjelang akhir abad ke-18 M, Bani Saud yang beraliansi dengan gerakan Wahabi mengepung kota-kota penting di Qatar. Aliansi dari Najd ini sempat berhasil menguasai sebagian Qatar hingga tahun 1811. Pada 1825, Inggris melalui East India Company (EIC) mulai terlibat langsung dalam mengendalikan bandar-bandar penting di Qatar.

 

Pada 1871, Kekhalifahan Turki Utsmaniyah memperluas wilayah kontrolnya dari Arab timur ke pesisir Teluk Arab, termasuk Qatar. EIC menanggapinya negatif, tetapi tidak mengadakan perlawanan langsung. Turki lalu menjadikan Qatar sebagai bagian dari wilayah provinsi (sanjak) Najd dan menunjuk Jassim bin Muhammad sebagai kepala pemerintahan setempat.

 

Pada 1893, Turki Utsmaniyah hendak menerapkan kebijakan reformasi perpajakan di wilayah Jazirah Arab. Terkena imbasnya, Jassim bin Muhammad menyuarakan protes. Ia lalu berpindah ke al-Wajbah—sekira 15 km dari Doha—dengan diiringi sejumlah kepala suku Arab lokal untuk menyusun pasukan. Perang pun pecah antara aliansi lokal-Qatar yang dipimpin Jassim dan pasukan Utsmaniyah yang diperintah gubernur Basrah, Mehmet Hafiz Pasha.

 

Akhir perang ini membuahkan hasil baik bagi Jassim. Istanbul bukan hanya memberikan amnesti untuknya, tetapi juga memecat Mehmet Hafiz Pasha. Bagaimanapun, Qatar tetap berada dalam kendali Turki Utsmaniyah hingga tahun 1915, yakni ketika Abdullah bin Jassim mengukuhkan kekuasaannya atas Qatar.

DOK wikipedia

Pada 1916, Abdullah bin Jassim menandatangani perjanjian dengan Inggris. Hasilnya, Qatar mendapatkan perlindungan militer dari Britania Raya. Pada saat yang sama, Inggris berhak mengatur urusan luar negeri setempat. Qatar terus menjadi wilayah protektorat Inggris hingga 3 September 1971.

 

Sebelum penemuan cadangan migas, Qatar adalah salah satu negeri Arab yang paling miskin. Penduduk lokal cenderung mengandalkan perdagangan kerang mutiara, yang sudah dibudidayakan di sana sejak lebih dari seribu tahun silam. Sebagian lainnya bekerja sebagai nelayan dan pembuat alat-alat perkakas sederhana.

 

Pada 1935, Anglo-Iranian Oil Company (AIOC)—cikal bakal perusahaan British Petroleum (BP)—diberi konsensi oleh Pemerintah Inggris untuk mengeksplorasi kandungan bumi Qatar. Karena terikat perjanjian Garis Merah, AIOC lalu mendelegasikan hak ini ke sebuah perusahaan asosiasi dari Iraq Petroleum Co, yakni Petroleum Development Qatar Limited (PDQ).

 

Kemudian, pada Oktober 1938 persiapan berlangsung untuk membangun pengeboran minyak di Dukhan—sebuah kota yang terletak 80 km arah barat Doha. Pada 1939, cadangan minyak bumi terbukti ada di Dukhan. Barulah kira-kira 10 tahun kemudian, pengeboran dilakukan untuk mengambil migas di sana.

 

Pada 1960, dimulailah pengeboran minyak lepas pantai utara Qatar. Kemudian, ladang gas bumi “super raksasa” ditemukan di sana pada 1971. Waktu itu, cadangan gas alam terbukti (proven reserves) di sana menjadi yang terbesar sedunia.

 

Qatar mendeklarasikan kemerdekaannya dari Inggris pada 1 September 1971. Dua hari kemudian, Qatar resmi menjadi negara merdeka. Ahmad bin Ali—yakni seorang cicit dari Abdullah bin Jassim—mengumumkan deklarasi itu di vilanya di Swiss, alih-alih istana di Doha. Karena itu, beberapa tokoh Qatar di dalam negeri mulai merencanakan reformasi kekuasaan sejak saat itu.

 

Pada 22 Februari 1972, Khalifa bin Hamad al-Tsani menggulingkan Ahmad bin Ali dari kursi kekuasaan. Khalifa merupakan putra Hamad, yakni anak kedua Abdullah bin Jassim. Penggulingan ini melalui sebuah kudeta tak berdarah. Karena itu, umumnya rakyat Qatar menganggap peristiwa ini hanya peralihan kekuaasan biasa, bukan kudeta sebagaimana dipahami Barat.

 

Pada 1995, terjadi lagi kup tak berdarah atau “peralihan kekuasaan” dari Khalifa bin Hamad kepada putranya, Hamad bin Khalifa. Pada 2013, ia memberikan kursi kekuasaan kepada putranya, Syekh Tamim bin Hamad. Sosok inilah yang merupakan pemimpin (amir) Qatar hingga saat ini.

top